Rabu, 22 Juni 2011

the classic

When the sun shines on the sea
I think of you
When the dim moonlight is on the spring
I think of you

Jumat, 30 April 2010

my nane i miftakhul riza, and i use clear for men, what's about u?

Seluk Beluk Riza Berkata
Adalah Miftakhul Riza Risqi Fauzi, anak ke 2 dari 4 bersaudara hasil perkawinan Bapak Yahman Ahamad Hidayat dan Ibu Sri Budiningsih. Dia menjalani masa kecilnya di kampung halamanya tercinta, desa Kedungwaru, Karangsambung, Kebumen.
Memulai pendidikan formalnya dengan masuk TK intan secara tidak begitu formal karena masih dianggap kurang cukup umur. Tetapi anak yang biasanya teman-teman memanggilnya Riza ini berhasil membuktikan kekurang cukup umuranya itu dengan menjadi siswa yang baik, imut dan bijaksana selama 3 tahun di TK. Terbukti dengan dipilihnya dia sebagai ketua kelas dan pemimipin barisan TK saat upacara HUT RI pada saat itu.
Jabatan ketua kelas masih ia pegang sampai kelas 2 SD hingga ahirnya dengan lapang dada menyerahkan jabatan itu kepada rekan sebangkunya. Kehidupan menjalani anak yang baik, tidak nakal dan yang pasti patuh pada orang tua dia jalani hingga akhirnya SD Kedungwaru mengihklaskan kepergianya untuk merantau ke Kutoarjo menjalani pendidikan system pondok keingnan bapaknya.
Di SMP Darul Hikmah Kutoarjo inilah kehidupanya berubah total. Riza yang dahulunya pendiam, lugu dan sulit tertawa, berubah menjadi anak yang kocak, konyol dan humoris. Semua itu terjadi karena gaya hidup yang perlu kerja keras dan penuh hukuman di asrama. Tetapi gaya hidup inilah membuat anak yang cita-citanya dari kecil ingin jadi arsitek ini lebih mengerti arti hidup, menghargai kaum minoritas dan mengerti betapa berharganya teman disaat masalah bertubi-tubi menerjang. Banyak perubahan yang terjadi pada anak yang lahir pada tanggal 18 Februari 1993 di Kebumen ini , mulai dari fisik, style sampai selera entertainment yang dia suka. Salah satunya adalah dalam bidang music, music alternative rock dan punk rock adalah kesukaanya, padahal dahulu dia sangat suka dengan lagu-lagu pop mellow, cengeng yang membuat loyo, mlongo dan dongo . Karena menurutnya, tanpa music-musik kesukaanya dia tidak bisa semangat dalam menjalani hidup.
Sampailah pada saatnya anak yang bermoto “ekspresika aksimu” ini kembali ke Kebumen setelah menjalani pendidikan SMP dengan penuh semangat menghadapi rintangan yang ada. SMAN 1 Kebumen lah yang akhirnya Riza pilih untuk melanjutkan studinya. Disinilah semua masalah dalam kehidupanya bertambah komplek berpangkat-pangkat. Tetapi semua itu dihadapi oleh anak yang mempunyai impian kuliah di Jepang ini dengan riang gembira. Walaupun impianya terkesan hiperbola, tetapi berkat dukungan kakaknya dan daya hayalanya itu membuat semangat untuk belajarnya terus berkobar hingga ahirnya dia berhasil masuk ke kelas IPA 5 impianya.
Harapan hidupnya adalah menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, agama dan masuk surga. Tidak hanya itu, anak yang mempunyai akun facebook ndilallah@gmail.com ini juga mempunyai beberapa harapan sambilan, diantaranya adalah mempunyai pendamping hidup yang benar-benar dia cintai dan menghilangnya kaum “alay” yang meresahkan warga pada saat ini di sentero jangakauan pandanganya.
Itulah sepenggal cerita tentang Riza. Satu pesan penutup dari anak yang mempunyai blog di www.rizange.blogspot.com ini adalah “jangan ragu untuk menjadi kaum minoritas asal itu positif, bila perlu berbanggalah dengannya jika igin hidupmu lebih berwarna” .

HITAM PUTIHNYA PECI HITAM

Malam ini sungguh terasa sangat berat bagiku walaupun aku tak merasa memanggulnya. Katika semua sel-sel otaku berputar-putar berotasi dan berevolusi mencoba tuk menguasai berbagai rumus yang ku paksa hingga ahirnya aku menyerah dalam renungan panjang yang berahir pada sebuah gelapan mata. Dalam lelap dan penatku, aku terpelanting kesebuah suasana hening yang tiada tara. Ketika mataku melihat tetapi kelopak mataku tak terbuka, ketika telingaku mendengar tetapi gendang telingaku tak bergetar dan ketika kulitku merasakan angin yang berhembus tetapi saraf-saraf yang tertanam kuat di kulitku tak menghantarkan impulsnya ke otakku.
Dalam alam bawah sadarku yang sangat luas tak berbatas yang kini terbentang di hadapanku. Aku terbawa oleh udara yang memutar-mutatkanku hingga tibalah pada sebuah rumah yang sepertinya aku akrab sekali dengan fisiologinya. Tetapi aku tak paham sebenarnya apa yang terjadi padaku. Sudahlah, ku pasrahkan semua ini pada angin yang membawaku. Ketika ku mulai memasuki pintu demi pintu rumah ini, tak kusangka ternyata alurku kali ini bersuasanakan pilu. Bendera putih meliuk-liuk berdansa dengan para malaikat maut yang berpesta pora menyambut seorang nyawa yang akan ia kawal hingga ke alam baka. Pak Indra, itulah nama jasad yang kulihat didepan mataku kali ini. Sepertinya aku mengetahiu semua yang terjadi disini, tetapi perasaanku selalu memaksaku tuk berpura-pura terheran-heran dengan apa yang terjadi kali ini.
Biarkanlah ku bercerita tentang ini mengalahkan perasaanku itu. Yang ku tahu pak Indra meregang nyawa setelah dia berusaha menyelamatkan peci hitamnya yang terjun bebas dari atas lemari kayunya. Terlihat seekor kucing yang berbulu lebat menyasikan secara langsung dengan tatapan matanya yang tajam proses bagaimana terjadinya tumbukan bombastis antara tubuh pak Indra dengan lantai keramik rumahnya sendiri. Kucing itu tak berekspresi, hanya kakinya terus melangkah tanpa menhiraukan apa yang terjadi di hadapanya seorang manusia yang sedang meregang nyawa ketika berusaha menyalamatkan peci hitam kesayanganya yang jatuh tak terkecuali karena samparan kakinya sendiri. Tetap tak acuh terus melangkah tanpa rasa bersalah setitkpun.
“Meong………….!”
Bu Eni sebagai istri tercinta dan I’e, anak yang juga sangat menyayangi ayahnya itu tak kuasa menahan pilu. Tak salah lagi, peci hitam itulah yang menjadi faktor utama kematian pak Indra. Akupun tak kuasa menahan air mata sebagai pencerminan betapa sepelenya urusan meregang nyawa, hanya karena subuah peci hitam.
“Bapak jangan tinggalkan kami”. Kalimat itu berulang-ulang mereka ucapkan.
Ternyata pendapatku tentang ini salah besar. Peci hitam itu bukan urusan yang sepele, bahkan pak Indra rela membagi hatinya hanya untuk keluarga dan peci hitamnya itu. Akupun tidak begitu mempercayainya tetapi begitulah nyatanya. Setelah aku jelajahi waktu demi waktu hingga kudapatkan jawaban dari pertanyaanku itu. Peci itu adalah warisan turun-temurun keluarga pak Indar. Dari riwayat yang ada, peci hitam keramat itu memberi kesuksesan pada setiap pewarisnya. Tetapi yang ku tak sanggup mempercayainya ketika ku melihat keterangan selanjutnya, ternyata semua pewarisnya meniggal karena peci hitamnya termasuk pak Indra yang ku mulai akrab dengan namanya. Ku mencoba tebak cerita setelah ini ketika saatnya I’e sekarang mewarisi peci hitam ayahnya itu dan ku sungguh tak sabar ingin menyaksikan dengan mata hayalku ini apa yang terjadi setelah ini.
Hari berganti hari tetapi perasaan nyataku hanya baru berlangsung beberapa jam saja. Ku lihat kini I’e yang sebelumnya terlihat culun dan tak berakal, tetapi kini ia terlihat sangat berwibawa dengan peci hitam ayahnya melekat di kepalanya. I’e yang hari-hari sebelumnya terlihat tak dapat berkata-kata, kini perkataanya sangat lantang dan tegas dengan berbagai landasan teori yang kuasai saat ini.
“Kini saatnya ku membalas semua sikap pengecutku selama ini” dalam hati I’e berkata, aku mendengarnya.
Ternyata ini kesuksesan yang kini didapat dari peci hitam itu. Memang mustahil jika ku memikirkannya, bahkan sampai otaku meletup-letupun tak dapat di jelaskan sebenarnya ada apa di balik peci hitam itu. Kali ini aku benar-benar tidak mengaetahiunya. I’e menjadi seorang genius kini. Berbagai lomna dai ikuti. Bahkan dia hampir menjadi ilmuan terkenal setelah menemukan fungsi keisomeran untuk setiap senyawa hidrokarbon, tetapi teorinya itu sayang hanya berlaku pada senyawa hidrokarbon berantai nanyak. Sungguh membuatku merana melihat itu. Aku yang tertatih-tatih menuntun otaku untuk mendapatkan nilai dalapan saja sudah sangat luar biasa, teapi apa boleh buat aku disini hanya sebagai hamba yang semua tergantung pada keputusan Pencipta. Aku harus yakin bahwa ini tidak nyata sehingga tekanan-tekanan di dunia sana tidak menggangguku menikmati cerita ini.
Ketika kesuksesan demi kesuksesan didapati I’e dengan peci hitam yang masih melekat erat di kepalanya hingga ku mulai bosan melihatnya terus tersenyum menimbulkan rasa iri yang tak tertahankan, suatu peristiwa yang ku tunggu-tunggu ahirnya mencuat dan kurasakan jua. Entah apa yang ku tunggu tapi yang pasti aku ingin melihat ada sebuah kejadian dramatis yang memacu adrenalinku. Peci hitam keramat itu hilang entah kemana. Peci yang selama ini menjadi harta waris turun-temurun kini menghilang dengan sekejap entah kemana. Aku mulai merasakan betapa bingungnya pikiran I’e saat ini.
“Hah, tidak mungkin, peci hitamku hilang, peci tumpuan kesuksesanku kini menghilang”. Setidaknya seperti itulah teriakan jiwa I’e kini.
Terahir kulihat I’e memakai peci hitamnya itu ketika ia hendak tidur membaringkan tubuh gempalnyaitu. Aku merasakan ada kejanggalan denagan otak I’e kali ini, dia tidak mencarinya di sudut-sudut kamarnya tetapi malah mencari di trotroar jalan, selokan, sumur, bahkan tungku kompor ia jelajahi demi menemukan pecinya itu. Ingin rasanya ku memberitahunya dimana peci hitam itu berada tetapi apa dayaku yang hanya menjadi pelihatnya. Mau berusaha seperti apapun itu tadak aka nada efek yang berarti dalam cerita ini.
“ Dimana peciku……….???”
Kucoba merangkai memori-memoriku tentang I’e jauh sebelum dia seperti ini. Kutemukan kembali misterinya. Ku ingan ketika ayahnya belum meninggal dikala ayahnya masih memakai peci hitamnya dan ketika I’e belum memakainya, dia terlihat sangat bodoh, tak berakal, culun, bahkan untuk menghitung satu sampai sepuluhpun sangat menyedihkan melihatnya. Berbeda jauh ketika I’e memakai peci hitam itu, tak bisa dibayangkan berapa kali lipatkah meningkatnya kemapuan otak I’e setelah memakai peci hitamnya itu. Aku yang tadi merasa sangat iri terhadap kemampuan otak I’e, kini ku merasa iba yang tak tertahankan. Rasanya ingin ku bantu sekuat tenaga, sekuat hatiku, sekuat ototku, dan sekuat semangatku, tetapi apa daya, sekali lagi kuterangkan jika aku disini hanya menjadi pelihat saja
Kebodohan I’e semakin menjadi-jadi saja. Bahkan kali ini dia lupa cara bernafas hingga dia hampir meregang nyawanya.
“Tolong aku, ada apa dengan nafasku, aku lupa cara memasukan udarake paru-paruku”teriak I’e kepada semua yang memperhatikanya, hanya aku dan aku tak kuasa membantunya.
Ku pikir ini sudah menjadi ending dari serita yang tak masuk akal ini, tetapi ternyata cerita berlanjut. Semakin ku mengerti alur cerita yang ku nikmati ini. Berbagai pujian dari berbagai orang yang dulu mengaguminya kini satu persatu pujian itu berubah menjadi cacian dan cemoohan yang semakin mengurangi kapasitas otaknya untuk mengingat semua yang terjadi.
“Dasar orang bodoh, idiot, ada juga ilmuan yang idiot kali ini”. Satu demi setu cemoohan itu berhamburan menumpuki otaknya yang semakin kacau.
Perasaan ibaku kini tak tertahankan lagi. Ku mencoba meraih tangan I’e tetapi tak bias. Ku coba berkata-kata tapi kata-kata yang kuucapkan sendiripun tak terdengar oleh telingaku. Aku tak bisa. Sekali lagi ku coba tapi tetap tak bisa. Bahkan kucoba sekali lagi tapi tetap tak bisa. Ahirnya ku menyerah dan hanya mencoba melihat saja apa yang terjadi. Tapi aku tak kuasa melihat kebodohan I’e kali ini. Dia mencoba mencari pecinya itu keluar kota. Sungguh menjadi-jadi saja apa yang terjadi saat ini. Seperti mudahnya membalikan telapak tangan saja Tuhan membuat nasib seseorang berubah total seratus delapan puluh derajat.
“Jangan pergi I’e….!”. Mohon bu Eni kepada I’e.
“Tidak bu, I’e harus mencari peci hitum itu bu” jawab I’e.
Bu Eni pun tak kuasa melarang I’e yang bersih keras ingin mencarinya hingga keluar kota. Padahal ku tahu betul dimana peci itu berada. Bu Eni pun sama saja tidak kalah bodohnya tidak mengetahiu dimana peci itu berada. Padahal ada di susut kamar I’e yang kini berantakan tak karuan. Mata bu Eni berlinangan air mata dengan penuh keterpaksaan melepas satu-satunya anak tercintanya. Di wajahnya tersembunya sebuah rasa yang sangat jelas terlihat bahwa bu Eni tidak rela, tetapi rasa itu sepertinya tak kuasa bu Eni sembunyikan. I’e pun tetap bersih keras ingin mencarinya hingga ke luar kota. Perpisahan yang membuatku iktu menangisinya walaupum hanya dalam hayalanku pun itu berlangsung sangat dramatis. Ini kejadian yang kedua kalinya ku anggap dramatis dalam cerita ini. Tetapi entah nanti jika aku sudah sadar di dunia nyata.
Berhari-hari I’e sudah keluar kota dan tak kembali, begitu juga dengan bu Eni yang tak henti-hentinya menangisinya hingga air matanya membasahi seluruh matanya. Kini jiwaku terpencar menjasi dua. Akupun merasa bingung mengapa bisa seperti ini, aku berada di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Tetapi taapalah karena ini hanya dalam hayalku saja. Di lain tempat I’e dangan semangatnya yang membara berkobar-kobar terlihat sekali dalam sorot matanya yang tajam memelototi setiap sudut kota, tetapi kebodohanya lebih tampak lagi dalam tingkah lakunya. Disini ku melihatnya merasa iba tetapi dilam relung hatiku juga tertawa-tawa melihat kebodohan yang I’e lakukan.
Kuceritakan salah satu kejadian yang menggelikan ketika I’e mengunjungi sebuah sekolah di kota tersebut. Gedungnya sangat megah dengan kelas yang bertumpuk-tumpuk berjajar rapi indah sekali. Sorotan tajam I’e pertma tertuju pada berpuluh-puluh tempat sampah yang tersedia didepan setiap kelas. Satu dami satu I’e mencarinya dengan penuh semangat. Tanpa hasil, lalu dia berpindah, lalu berpindah, dan seperti itu terus hingga kapan keyakinanya tentang peci hitam itu ada didalam selah satu dari berpuluh-puluh tempat sampah yang ada menuntuntunya untuk terus mencarinya. Tetapi ada yang membuatku terus terhibur ketika baru beberapa tempat sampah yang ia gledah lalu berpindah dan berpindah, kebodohanya mencoba memengaruinya untuk menyatakan bahwa ternyata dia lupa apakah dia sudah menceri di tempat sampah yang tadi atau belum. Hingga ahirnya dia mengulanginya kembali sampai tak kuasa aku menghitungmya.
“Tadi sudah kucari disitu belum ya…?”. I’e marasa bingung dengan tingkahnya sendirinya.
Di lain tempat bu Eni terus berdoa dan menangisi kepergian I’e.
“Ya Tuhanku, lindungi I’e diluar sana, jagalah ia agar semengat yang membakarnya terus mencari redup. Aku sungguh ingin dia kembali lagi..!”. Doa bu Eni.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan hingga ahirnya I’e memutuskan untuk menyerah. Semangat untuk terus melestarikan peci hitam warisan turun-temurun itu kini padam, yang tersisa hanya abu bodohanya yang semaklin menumpuk di otaknya. Ku temani I’e pulang walau dia tak menganggapku. Sorot matanya yang dulu berbinar-binar bercahaya kini redup tenggelam dalam kebodohanya. Sementara itu aku terus merasa iba melihat bu Eni yang terus menerus menangis tanpa henti.
Dalam perjalanan pulang I’e, baru saja aku ingin memikirkan jika I’e lupa jalan pulang. Ternyata memang benar-benar persis seperti yang ku kira. Tidak tahu entah kemana I’e berjalan, hanya mengandalkan kehendak kakinya entah kemana ia akan melangkah. Dalam kesesatanya itu otaknya semakin menghancurkan hidupnya, dia lupa dirinya, dia lupa dimana dia, dia lupa sedang apa dia, dia melupakan semua. Hingga ku dapat menyimpulkan bahwa kini I’e sudah benar-benar gila.
“Aghrtsz…. Siapa sebenarnya aku ini, aku tak sanggup mengingatnya”. Teriak I’e lesu.
Kini I’e berjalan tanpa arah tujaun yang jelas hingga ia tidak mempedulikan apa yang terjadi disekelilingnya. Aku menjadi takut berada di sampingnya, dalam ke kalutanku tiba-tiba ada seorang bapak-bapak dengan kucuran air mata berlari dengan cepat sanbil berteriak-teriak
“Rudi………. Rudi……… istrimu dan anak-anakmu gantung diri……..!!!”
Sepertinya berita itu ingin segera disampaikan kepada nama yang disebut-sebut itu. Lalu aku melihat I’e apa yang akan dilakukanya, tiba-tiba dia berlari selagi terus berkata
“Istriku………… tunggu, aku akan menysulmu……!”
I’e berlari tanpa tujuan, matanya tak kalut oleh jalan. Tak terasa ternyata kaki butanya itu mengarahkanya ke sebuah rumah. Yah, aku sangat kenal rumah itu. Itu rumah I’e sendiri, tapi dai tak menyadarinya.
“I’e, bagaimana keadaanmu nak, kamu pulang….! I’e… I’e…I’e…” celotehan bu Eni tak direspon I’e sama sekali, dia lupa semuanya.
Ternyata do’a ibunya selama ini maqbul, tetapi kali ini senyumnya berbalik menjadi tangis kembali ketika tahu anaknya telah menjadi gila. I’e berlari ke kamarnya, menutupnya rapat-rapat. Memastikan tidak ada yang melihatnya lagi, pintunya pun tak lupa ia kunci kuat-kuat. Seperti yang ku duga. Ie mau menyusul kepergian wanita yang I’e anggap istrinya sendiri itu. Mengetahui hal itu, bu Eni segera berusaha mengetahui sebenarnya apa yang terjadi kepada I’e. ketika bu Eni melihat I’e dari fentilasi pitu kamarnya, ternyata ia tengah berusaha untuk menggantungkan dirinya dengan seutas tali, wajah bu Eni menjadi semakin tak berseri. Secepat yang bu Eni bisa dia berusaha mencari bantuan tetangganya.
“Tolong….. tolong, tolong, I’e bunuh diri…..!”
Ku hanya bisa terdiam, apapun yang terjadi sudah tahu tak berefek terhadap ini semua. Dilain tempat, dikamar, I’e melepaskan semua beban tubuhnya melayang bebas, mengelantung tak karuan. Seutas tali yang kini menjadi tumpuan nyawanya melekat di lehernya. Kini, dai tak sadarkan diri. Genderang malaikat maut mengiringi lepasnya nyawa dari tubuh gempalnya.
Tak lama kemudian tetangga-tetangga yang datang sukses mendobrak pintu. Mereka terlambat, kini tubuh gempal itu tak nernyawa kembali. Bu Eni tak kuasa menahan air mata yng pernah kering kini basah kembali.
“ I’e, kamu jangan mati nak, jangan kau biarkan tragedi semua pewaris peci hitam itu terulang kembali…” tangis bu Eni
Mereka membaringkan I’e diatas tempat tidur I’e. Tak sengaja peci hitam yang I’e cari selama ini ditemukan di balik bantal lusuh tua tak tertindih itu. Bu Eni semakin menyesali tangisnya yang kini semakin bersedu itu.
Dilain tempat I’e dibawa, dikawal oleh rombongan malaikat menuju ke alam baka disana. Disepanjang perjalanya, I’e masih menyampatkan matanya tuk terus mencari-cari peci hitamnya itu.
“Hah, itu peci hitamku. Malikat, izinkan aku mengambilnya…..!”
“Tentu, jika itu maumu”
I’e berlari dangan penuh gembira mengambilanya. Memakinya kembali, dia ingat semuanya. Dia ahirnya ingat bahwa dia bukan Rudi yang istri dan anaknya bunuh diri.
“ Lalu mengapa aku bunuh diri. Wahai malaikat, aku bukan Rudi dan aku tak ingin mati karena ini semua………..! aku ingin kembali ke dunia lagi malaikat…..!”
“Jika kau dapat mengingat kembali jalan pulangmu, pulanglah..!”
Dengan segala kemampuan otaknya yang kini berfungsi kembali, I’e bahkan dapat kembali ingat bagaimana caranya sewaktu dia ditiupkan ke dunia tuk hidup kambali. Dia berlari, semangat membara membakar seluruh tubuhnya, dengan peci hitam yang melekat erat di kepalanya melewati lorong gelap sangat besar yang sebenarnya lebih layak kusebut lapangan luas. Hingga dia sampai pada sebuah titik, masuk kedalamnya. Dan keluar menjelma menjadi I’e yang terbaring di atas tempat tidur dengan sekerumunan orang sedang menangisinya.
“Lihat, mata I’e terbuka, I’e hidup kembali………….”
Serentak orang-orang yang mengerumuni I’e bertakjub ria, terlihat sekali bu Eni menghapus air matanya dan menggantinya dengan senyuman haru merdu.
Disaat-sat seperti ini hal yang sangat ku benci terulang lagi, alarmku berdering kencang. Genderang telingaku kini bergetar kencang. Membangunkanku dari mimpi panjangku.
“Yah, hilang, mipiku hilang………… hanya mimpi, tak nyata. Sudah jam empat pagi ternyata…”
Akupun bangun dan sepertibiasa mematikan alaram yang mengusiku dan kembali berbaring dengan penuh harapan menyambung mimpiku. Tetap tak bisa.

Kamis, 01 April 2010

cinta matematik

aku takut akan selalu menjadi angka kesepian seperti akar tiga.
tiga baik dan benar.
kenapa tigaku disembunyikan dibalik tanda akar yang kejam?
kuharap aku sembilan karena sembilan bisa atasi trik jahat ini dengan aritmatika singkat.
kini aku takkan bisa lihat matahari sebagai 1,7321.
seperti realitaku, sebuah irasional yang menyedihkan.
tapi apa yang kulihat ini?
satu lagi pangkat tiga, datang menghampiriku.
bersama kami berlipat ganda untuk ciptakan angka yang kami sukai.
bersukacita dengan bilangan bulat.
kami melepaskan diri dari batasan dunia dengan satu tongkat sihir.
tanda akar kami terlepas dan cintaku diperbaharui.